Rabu, 26 Maret 2014

kasus mark up yang terkatung katung

Kasus Mark up

Pembebasan Lahan Gedung Mapolda Banten

Sejak Propinsi Banten berdiri pada tanggal 04 Oktober 2000 pembangunan suprastruktur dan infrastruktur fisik berlangsung pesat diantaranya Gedung Mapolda, DPRD Banten jalan raya dsb. Ternyata sejak saat itu pula banyak terjadi banyak dugaan kasus korupsi salah satunya pembebasan lahan gedung Mapolda ternyata bermasalah.

Pembebasan lahan didesa Banjarsari Kec. Cipocok Jaya diperuntukan bagi peningkatan status peran Kepolisian Wilayah menjadi  Kepolisian Daerah Banten (Polda Banten) dengan luas sebesar 10,948 ha. Dengan ganti rugi sebesar Rp.25.344.620.000,00 atau sebesar Rp.231.500,00 per meter2.

Status kepemilikan lahan tersebut  yaitu sebagai berikut :

    Tanah seluas 61.358 m2 tersebut dikuasai H.CSH.
    Tanah seluas 33.287 m2 dikuasai Herlin Wijaya
    Eks Tanah Bengkok milik Pemda Kab. Serang   seluas 14835 m2

Sumber pendanaan tanah sebagai berikut :

    APBD 2003
    Pos Setda
    Pos Dana Tak Tersangka. (?)

Pembayaran ganti rugi kepada Prof. Dr. H.Chasan Sochib dan Herlin Wijaya sebesar 21.910.317.500,00 ditandatangani untuk diterima pada bulan Mei 2003 dan diterima terakhir bulan Desember 2003 atas rekening Dana Tak Tersangka sebesar Rp.13.778.372.100,00.

Sedangkan pembayaran ke Pemda Kab. Serang sebesar Rp. 3.343.302.500,00 dengan menggunakan Surat Tanda Setoran/ Model Bend 1.dalam dua tahap melalui rekening dua tahap melalui rekening individual yaitu pemindah bukuan sebesar Rp. 3.262.587.372,00 pada tanggal 24 Juni 2003 dan setoran tunai sebesar Rp. 171.715.125,00. pada tanggal 12 Januari 2004.

Menurut Camat Cipocok  ternyata harga ganti rugi tanah tersebut lebih mahal sebesar Rp. 31.500.,00 dengan harga pasaran berdasarkan rekomendasi Bupati Serang berkisar antara Rp. 150.000, 00 – 250.000,.00.per m2 dan sesuai dengan harga pasar tertinggi yaitu Rp. 200.000,00 per m2.Dengan adanya laporan tersebut BPK menuduh kelebihan harga tertinggi yang ditetapkan (Rp. 200.000,00-231.000,.00) Pembebasan lahan ini mengindikasikan kerugian daerah sebesar 3.448.620,00  (31.500 x 109.800m2).

Masalah ini diduga hasil intervensi pihak penjual PT. BBJ yang notebene milik H. Chasan Sochib kepada Gubernur Banten yang tidak menginginkan alternative lokasi lain dengan alasan Gedung Mapolda Banten sudah ditenderkan di Polda Jabar. Pemprov Banten juga membela diri bahwa penetapan harga Rp231.500,00 masih dalam aturan  yang benar sesuai dengan pasaran tertinggi berdasarkan rekomendasi Panitia 9 dari Kabupaten Serang dan dalam kondisi siap bangun tanpa ada bangunan dan unsur tegakan yang lain.

Argumentasi itu ditambahkan berdasarkan bahwa :

    Hasil inventarisasi dan pengukuran tanah pada tanggal 14 April 2003 jo. bidang tanah No.01/2003 Peta Bidang Tanah tanggal 05 Januari 2003 yang dimuat dalam risalah rapat pada tanggal 17 Januari 2003 menyebutkan pada bidang tanah tersebut tidak ada bangunan,tanaman tumbuh dan unsur tegakan lain.
    Permintaan harga ganti rugi dari pemilik tanah per m2 yang semula Rp. 250.000,-dan kemudian berubah menjadi 220.000,-sudah termasuk dalam kondisi lahan siap bangun.

Menurut BPK modus operandi kasus ini tetap menyiratkan adanya dugaan kolusi yang merugikan keuangan daerah sebesar Rp. 3.448.620,00  (31.500 x 109.800m2) untuk diproses secara hukum.

BPK hanya menuduh adanya markup harga jual tanah, sementara itu opini public yang digulirkan oleh berbagai elemen masyarakat termasuk LSM tentang adanya penyimpangan anggaran  seperti penggunaan Pos Dana Tak Tersangka sebesar Rp. Rp.13.778.372.100,00 milyard oleh Gubernur yang seharusnya diperuntukan bagi kondisi darurat seperti bencana alam, kiranya juga diusut dan dikenakan delik hukum pidana. Penggunaan Dana Tidak Tersangka (DTT) itu tidak memenuhi ketentuan dalam PP 105 dan Kepmendagri No.29/2002. Kebijakan menggunakan Dana Tak Tersangka, jelas-jelas kewenangan mutlak gubernur. Tafsiran “keadaan mendesak” dalam PP 105 tahun 2000 telah disalah tafsirkan digunakan untuk pembebasan lahan Mapolda Banten dan menyalahi intruksi Mendagri. Kasus berikutnya serupa terjadi juga dalam kasus Dana Perumahan bagi anggota DPRD Banten selain peraturan diatas juga diancam terkena delik pidana berdasarkan UU Anti Korupsi No.20 Tahun 2001 junto pasal 55 KUHP.

Dugaan kolusi kemungkinan besar disebabkan intervensi pemaksaan, balas budi dan unsur lain oleh H. Chasan Sochib (masa itu bagi kalangan aktivis dan akademisi disebut dengan anekdot Hitlernya Banten atau Sang Gubernur Jendral. red) terhadap Gubernur Djoko Munandar dan Panitia 9 (sembilan). Pertemuan terakhir di Jakarta untuk pembayaran ganti rugi terhadap H.Chasan Sochib, Helin Wijaya diduga  adanya konspirasi kesepakatan damai masalah tersebut.  (Tim)

Sumber Pustaka :

    BPK RI 2005
    Kejadian langsung dan saksi sejarah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar