Jumat, 22 Juni 2012

akal atut mark up proyek


Ketika mendengar rencana pembangunan Bandar Udara (Bandara) Banten Selatan, maka dahi kita mengerenyit, muncul pertanyaan; untuk apa dan siapa? Katanya, bandara ini untuk kawasan ekonomi khusus (KEK) bidang pariwisata di Tanjung Lesung, Kabupaten Pandeglang.

Pemerintah pusat sudah mengeluarkan surat izin pembangunan Bandara Banten Selatan melalui SK Menteri Perhubungan No KP 433 tahun 2010 tentang penetapan lokasi bandara udara dan rencana pembangunan bandara baru di Desa Mekarsari, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Dan, izin ini dikeluarkan karena sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2012 dan kawasan kawasan wisata lainya yang ada di Banten Selatan.

Bandara Banten Selatan direncanakan seluas 600 hektar dengan run way sepanjang 3.500 m  dan lebar 30 meter, berarti bisa digunakan oleh kapal besar sekelas Boeing. Rencana biaya pembangunan ditaksir Rp 850 miliar. Bahkan Gubernur Banten, Rt Atut Chosiyah menyebutkan angka Rp 2 triliun, entah hitungannya seperti apa sehingga biaya sebesar itu disebutkan. Kabarnya, investor bandara ini berasal dari beberapa perusahaan dari Korea.

Alasan bandara untuk KEK terasa janggal, yaitu SK Menteri Perhubungan itu terbit pada tahun 2010. Sedangkan PP tentang KEK Pariwisata terbit tahun 2012. Ada jeda waktu 2 tahun, sehingga KEK menjadi alasan untuk dibangunnya bandara. Selama 2 tahun itu alasannya apa, sehingga Menteri Perhubungan menerbitkan izin pembangunan bandara baru.

Kita juga mencoba membayangkan seperti apa KEK Pariwisata itu, sehingga membutuhkan bandara yang bisa digunakan oleh pesawat-pesawat berbadan besar? Apakah KEK Pariwisata di Banten Selatan akan dibuat seperti Pulau Bali yang mendatangkan wisatawan luar negeri berjumlah ratusan ribu atau jutaan orang per tahun, sekaligus membawa dampak social, budaya dan ekonomi di masyarakat setempat?

Rasanya tidak juga masuk akal jika alasan bahwa bandara dibangun agar para wisatawan tidak perlu mendarat di Bandara Soekarno Hatta, Kota Tangerang. Karena situasi jalan darat dari Seokarno-Hatta ke Banten Selatan sangat memprihatinkan. Jika alasan itu, mengapa tidak membangun bandara yang lebih kecil, tetapi dilayani oleh pesawat jet yang nyaman. Sehingga wisawatan yang bertujua ke Banten Selatan, cukup beralih ke pesawat jet kecil menuju Bandara Banten Selatan. Atau jika lebih ekstrem, mengapa tidak dilayani oleh helikopter, sehingga cukup membangun helipad (tempat pendaratan helikopter).

Kekhawatiran kita antara lain Bandara Banten Selatan jika sudah dibangun, malah tidak bisa dioperasikan. Penyebabnya bukan karena teknologi atau tidak ada operatornya, tetapi lebih disebabkan tidak ada penumpang yang akan menggunakan pesawat terbang. Jangan-jangan perhitungan ini pula yang dirasakan oleh para investor dari Korea, sehingga mereka seperti ogah-ogahan dalam membangun Bandara Banten Selatan.

Sisi lain, pembangunan apa pun, termasuk bandara tentu saja membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Umumnya terjadi adalah masyarakat setempat setelah tanahnya dibeli menjadi penonton di daerahnya sendiri. Apakah pemerintah setempat sudah mengantisipasi hal tersebut? Inilah yang sering kita meragukan kemampuan aparatur pemerintah dalam mengantisipasi dampak pembangunan yang sebenarnya sudah bisa diperkirakan sejak awal.

Akhirnya kita kembali mempertanyakan pembangunan Bandara Banten Selatan itu untuk apa dan untuk siapa? Walllahualam bi showab. (im)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar